Form Pendaftaran

Sabtu, 17 Desember 2011

preparation of pra wedding I


23:09 17/10/2011
Dimalam yang cukup hening dan senyap ini aku coba menulis gambaran hati dalam sebuah perasaan. Perasaan  yang cukup menjadikan mataku tak dapat terpejam, perasaan yang dapat merubah posisi dudukku dari suatu tempat ketempat lain. Banyak yang beranggapan, atau bahkan berasumsi bahwa seorang pemuda disaat malam mengalami situasi yang demikian karena mungkin selayaknya ia membutuhkan seseorang untuk menenangkannya, yang jika ditulis dengan kalimat singkat “pengen nikah”.

Pernikahan


Pernikahan merupakan penyatuan dua insan dengan saling mengikat janji setia untuk selamanya dan menjalani hidup bersama, serta melalui proses pernikahan pula lah Alloh menghalalkan suatu-perbuatan-yang semula diharamkan. Karena itu, setiap laki-laki dan perempuan diharapkan memikirkan serta merenungkan apa hakikat arti dari sebuah “pernikahan”. Dalam kamus pribadi masing-masing orang tentunya terdap perbedaan satu sama lain dalam mengartikan hakikat arti suatu pernikahan, ada yang mengartikan pernikahan merupakan suatu jalan untuk memperoleh kesenangan biologis yang sah, ada yang mengartikan bahwa pernikahan merupakan suatu adat istiadat yang harus dilaksanakan bagi setiap pemuda yang beranjak dewasa dengan pemudi yang sudah dewasa pula, ada pula yang menafsirkan pernikahan merupakan proses ikrar atau janji setia dari mempelai pria terhadap mempelai wanita untuk menjalankan kehidupan seperti apa yang telah di tauladankan oleh baginda nabi Muhammad SAW. Dari sekian definisi, tidak ada batasan bagi siapapun untuk memilih dan menentukan bagaimana mereka menafsirkan hakikat arti dari suatu pernikahan. Hanya saja bagi mereka yang kurang perenungan akan betapa pentingnya menjalani hidup di dunia ini, mereka akan serta merta mengambil sikap bahwa pernikahan merupakan suatu bagian dari “permainan hidup”. Sehingga, jangan heran jika banyak pernikahan yang tidak jauh terlangkah sudah berberai ditengah jalan, hal itu karena mereka terlalu “gampang” mengartikan pernikahan, dan terlalu enteng untuk menganggap pernikahan sebagai permainan hidup yang tentu sedikit banyak perjalanan dari pernikahannya kerap diliputi dengan permainan-permainan yang mengajak mereka terperosok kedalam gudang kehancuran. Jika mau baik, sepertinya tidak ada salahnya atau bahkan wajib bagi setiap manusia untuk melakukan perenungan akan sabda nabi yang artinya
nikahilah perempuan itu dari empat perkara; kecantikannya, kekayaannya, keturunannya, dan keyakinannya (agamanya), maka berfokuslah kalian dari pada yang terakhir, jika tidak terputuslah harapanmu”.
Dari sabda nabi diatas sedikit dapat ditarik kesimpulan awal bahwa seorang laki-laki hendaknya tidak terlalu pagi membulatkan keinginannya untuk menikah. BERSAMBUNG

04:52 09/11/2011
Ada sebuah istilah dalam ilmu Mustholah Hadist atau ilmu yang mempelajari seluk-beluk ilmu hadist, yaitu “Mafhum Mukholafah” Yaitu makda dibalik hukum atau kalimat sebenarnya. Jika kita mencoba untuk mengambil perenungan dari sabda Nabi diatas maka kurang lebih dapat ditarik kesimpulan bahwa “jika kita mengharapkan untuk melangsungkan sebuah pernikahan maka selayaknya bagi seorang laki-laki untuk memikirkan terlebih dahulu empat perkara tersebut sebelum empat perkara itu kita cari pada pribadi seorang wanita yang hendak kita jadikan istri. Pendek kata jika kita mengharapkan istri “idaman” maka hal pertama dan yang utama dilakukan seorang laki-laki adalah bagaimana ia berusaha untuk menjadi laki-laki yang “idaman” pula. Bukankah alloh SWT telah berfirman yang artinya “Orang pezina laki-laki tidak layak menikah kecuali dengan pezina perempuan,…” begitu juga sebaliknya, dari ayat ini kita dapat menyimpelkan sebuah kesimpulan –orang baik akan mendapat jodoh orang yang baik pula, orang yang tidak baik akan mendapat jodoh yang tidak baik pula- karenanya kembali lagi pada hadist Nabi diatas, ketika kita hendak mencari empat perkara tersebut maka kita persiapkan dulu empat perkara itu pada pribadi kita masing-masing, sudah siapkah di diri kita empat perkara itu?

Kecantikan/ Ketampanan

Cantik dan tampan pada hakikatnya merupakan sebuah persifatan yang relatif, artinya dua sifat tersebut tidak pasti, mengapa? Karena ketika dikatakan si A adalah gadis yang cantik, maka mungkin itu merupakan sematan atau penilaian dari si B, si C, belum tentu si D mengatakan hal yang sama karena penilaian seseorang terhadap kecantikan atau ketampanan itu berbeda-beda, mungkin C dan D mengatakan si A cantik lantaran ia melihat si A secara fisik, namun tidak bagi si D, ia melihat si A dalam sisi kepribadian tingkahlakunya, karena itulah penilaian. Tidak ada yang membatasi setiap manusia untuk menilai seseorang dari segi manapun. Namun, karena kita merupakan umat baginda Nabi SAW maka sudah merupakan kewajiban jika kita mengikuti bagaimana beliau menilai terhadap kedua sifat tersebut. Rasululloh lebih mementingkan akhirat dari pada dunia, lebih mementingkan batin dari pada dhahir, lebih mementingkan sifat dan prilaku yang baik dari pada fisik yang memesona. Ingat rumus dunia “Dunia akan fana, tapi akhirat akan kekal selamanya”. Wajah yang cantik dan tampan secara fisik seiring berjalannya waktu akan mengendur serta mengeriput dan musnah dimakan usia, tapi tidak pada akhlak dan pribadi yang baik, ia akan kekal selamanya mengiringi perjalanannya di dunia hingga menuju tuhannya. BERSAMBUNG

Kekayaan

Kedua dari sabda baginda Nabi SAW diatas adalah hendaknya kita calon pendamping hidup dari segi harta atau kekayaannya. Dalam hal ini mengapa rasulullah mencakupkan criteria tersebut, banyak tafsiran yang melatar belakanginya. Diantaranya saat baginda Nabi SAW menikahi wanita pertama kali yaitu dengan ummul mu’minin sayyidah khodijah ra. Beliau sangat “kaya” kaya dalam artian dhahir batin atau kaya harta juga kaya hati. Seseorang yang kaya harta dan kaya hati tidak akan menekang hartanya untuk tujuan menipu hatinya, karena pada hakikatnya hati akan selalu berkata benar. Hati yang berkata salah hanyalah hati yang selalu mengikuti bisikan makhluk Alloh yang terlaknat. Jika sebuah hati merelakan apa yang dimilikinya untuk sebuah kebenaran, ia merelakan harta yang menggelimanginya untuk memperjuangkan agamaNYa, maka niscaya si pemilik hati inilah yang sangat patut untuk dijuluki seorang wanita yang kaya, seperti yang telah ditauladankan sayyidah khadijah ra. Selanjutnya coba kita bercermin. Ketika kita menghadapkan wajah atau tubuh kita dihadapan cermin maka kita akan melihat yang sebenarnya pada diri kita, saat kita menginginkan rambut tampak rapi maka kita mnyisirnya dengan baik, yang intinya sama halnya dengan saat kita mengharapkan hal yang baik bagi diri kita maka yang terlebih dahulu kita lakukan adalah begaimana kita memperbaiki diri kita bukan memperbaiki cermin yang ada di depan kita. Kalau hendak di implikasikan tauladan pada bagian hadist yang kedua diatas, dapat dikatakan “Jika kita mengharapkan wanita yang kaya dhahir batin, kaya harta dan hatinya, maka seyogyanyalah kita menjadikan diri dan hati kita kaya terlebih dahulu, jika demikian Yang Maha Adil tidak akan memberikan yang terburuk bagi kita, apalagi menyianyiakan usaha kita, sebaliknya pasti Alloh SWT akan menganugerahkan yang terbaik, yang sesuai dengan usaha kita. Yakinlah! BERSAMBUNG

Nasab/ Keturunan


Nasab atau garis keturunan merupakan salah satu faktor yang tidak sedikit menganggap ia adalah sesuatu yang patut untuk diperhitungkan bagi seseorang, atau bagi masyarakat umum yang memiliki kehendak untuk segera menikah. Tapi, dalam tulisan ini saya hanya ingin mengutarakan apa yang ada dalam benak pribadi saya mengenai “keturunan” dalam menentukan calon pendamping hidup. Memang, jika kita berkaca pada sejarah, baginda Nabi merupakan keturunan yang saya katakan spesial, dan tentunya sangat patut untuk mendapatkan pasangan dari jalur nasab yang spesial pula. Akan tetapi, perlu kita sadari dan renungkan, bahwa Nabi memiliki pasangan dari nasab yang demikian bukan karena nabi “mencari”. Sekali lagi bukanlah Nabi yang mencari nasab yang baik, tetapi Alloh lah yang menentukan nabi memiliki pasangan yang bernasab baik. Karena apa? Jawabannya sudah teramat jelas, yaitu karena keimanan dan ketaqwaan Nabi kepadaNya. Dan jika (hukum/ketentuan) itu berlaku pada baginda Nabi, apakah kita selaku umatnya tidak pula akan mendapat perlakuan yang sama dariNya? Meski tentu dalam taraf yang berbeda. Karena keimanan dan ketaqwaan kita tidak lebih hanya sepersekian persen dari keimanan dan ketaqwaan Nabi. Dari sini saya menyimpulkan bahwa “seseorang yang bernasab baik akan digolongkan dengan pasangan yang bernasab baik pula”. Kalimat simpulan diatas saya kira masih memiliki penjabaran yang cukup luas, yang mungkin diantaranya adalah seseorang yang meski tidak bernasab baik, namun dia berusaha untuk menjalani hidup layaknya orang yang bernasab baik, maka ia akan digolongkan dengan seseorang yang bernasab baik, atau dengan seseorang yang bernasab biasa namun berkarakter dalam kesehariannya layaknya orang yang bernasab baik. Jadi pada bagian yang terakhir ini saya katakan, jika kalian mengharapkan calon pendamping hidup dari garis keturunan yang baik maka pada hakikatnya bakanlah dari sebesar apa usaha anda untuk mendapatkannya, akan tetapi sekuat apa anda berIstiqomah manjalankan syari’atNya. Dan jika itu telah engkau lakukan, maka seperti apa yang telah saya sampaikan pada bagian sebelumnya ““Yang Maha Adil tidak akan memberikan yang terburuk bagi kita, apalagi menyianyiakan usaha kita, sebaliknya pasti Alloh SWT akan menganugerahkan yang terbaik, yang sesuai dengan usaha kita”.

Selesai

…………………………………to be continued………………………………

0 komentar:

Posting Komentar